Oleh Didik W. Kurniawan
Lalu apa pasal sehingga tulisan ini juga menyoal soal ke-roboh-an sekolah? Apakah sekolah sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana ‘normal’nya sekolah? Begini. Anggap saja tulisan ini adalah tulisan beraroma putus asa. Yang tidak begitu banyak pengaruhnya.
Sejak KLB pertama kali diumumkan di kota Solo tertanggal 13 Maret 2020, sekolah adalah terkena dampaknya bahkan sampai bulan Juli 2020 ketika ditetapkan sebagai tahun ajaran baru. Meski sudah dimulai, tetapi tetap saja dengan dalih keselamatan anak-anak peserta didik, sekolah dilarang melakukan tatap muka secara langsung. Dan pembelajaran dilakukan dengan cara dalam jaringan (daring) atau memanfaatkan teknologi internet utamanya saat ini.
Berbagai cara ditempuh. Berbagai aplikasi penunjang kegiatan belajar mengajar jarak jauh dimanfaatkan sedemikian rupa. Terlihat bagaimana sekolah-sekolah berusaha sekuatnya untuk tidak ketinggalan menggunakan teknologi yang ada. Tak jarang pelatihan-pelatihan terkait pemanfaatan aplikasi penunjang juga mulai digalakkan. Dari fase ini menurut sependek pengetahuan saya, pagar sekolah sudah roboh.
Jarak sudah terlipat. Para peserta didik cukup terlibat dari wilayah-wilayah mereka bertempat. Tidak perlu lagi datang ke sekolah. Taruhlah banyak kalangan praktisi pendidikan tidak terlalu sepakat dengan dominasi pembelajaran jarak jauh semacam ini. Karena bisa dengan sangat ekstrim mengubah atau bahkan menghilangkan proses sosialiasasi dan pertumbuhan pola komunikasi yang biasa terjadi di sekolah. Tetapi jika kebijakan didasarkan atas statistik angka positif terjangkit apa boleh buat? Selain itu metode daring juga dipandang melahirkan persoalan baru. Di antaranya karena akses internet masih terbatas, harga paket data internet yang relatif mahal, dan sangat sulit memantau fokus anak ketika kegiatan belajar mengajar jarak jauh berlangsung.
Kemudian muncul pembolehan dan perizinan tatap muka tetapi dengan jumlah murid yang terbatas. Jadwal dibagi persesi. Jumlah jam pelajaran dipangkas habis. Para peserta didik hadir sesuai jadwal masing-masing. Jarak antar tempat duduk diatur. Artinya penerapan protokol kesehatan harus disertai kesadaran disiplin yang tinggi. Tetapi itu berlaku untuk willayah dengan status zona hijau. Bagaimana dengan kota Solo? Sebagaimana kita ketahui bersama, Solo masih belum aman. Bahkan dua hari menjelang tahun ajaran baru jumlah pasien positif covid meningkat. Status sempat berubah ke zona hitam. Meski pada akhirnya walikota kota Surakarta mengakui itu untuk shock terapi, tetap saja kami pengelola sekolah benar-benar shock. Tatap muka baru boleh dilakukan per Januari 2022. Tentu saja tidak ada kepastian akan benar-benar diperbolehkan jika kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan statistik jumlah positif covid. Karena setiap saat dengan sangat tiba-tiba lonjakan bisa saja terjadi.
Hari-hari ini bangunan sekolah seperti kehilangan ruh-nya. Tidak ada lagi teriakan-teriakan dari ruang-ruang kelas. Tidak ada lagi guru kebingungan menata para muridnya di awal pelajaran. Juga tidak terdengar pula bunyi bel yang kemudian disusul suara gemuruh para murid berlarian keluar dari kelas masing-masing untuk istirahat. Bagi sekolah-sekolah negeri mungkin ini tidak terlalu berdampak. Tetapi bagi sekolah-sekolah swasta ke-roboh-an ini mulai terasa. Kesulitan mencari peserta didik baru salah satunya. Tren kompetisi antara sekolah yang biasa menjadi gengsi sekolah, di mana sekolah mengunggulkan kelebihan masing-masing untuk menarik orang tua menyekolahkan anaknya juga sudah tidak ada. Apa kompestisi untuk sekolah yang masih ada hari ini? Lomba foto sekolah aman covid? Lomba menyanyi jarak jauh? Lomba futsal? Lomba cerdas cermat? Yang bisa diunggulkan saat ini adalah bagaimana sekolah benar-benar layak dan aman bagi peserta didik. Apakah itu sudah cukup meyakinkan dan menjaga sekolah dari kesepian menuju kerobohan?
Imbas selanjutnya adalah pengurangan para tenaga pendidik dan kependidikan. Karena kondisi ekonomi sekolah mengalami penurunan. Mungkinkah hal itu terjadi? Sangat mungkin. Ilmu dan informasi sudah gampang didapat. Efisiensi harus dilakukan karena menyesuaikan kebutuhan jumlah peserta didik. Adaptasi dengan kondisi yang ada. Lalu apa yang bisa dilakukan para pendidik? Ini yang menjadi pe-er. Yang bisa penulis tawarkan adalah mengajak para guru di wilayah Solo Raya untuk belajar memahami hak kekayaan intelektual.
Satu simulasi seperti ini. Saat ini ada sekolah swasta yang memanfaatkan YouTube sebagai media belajar untuk para murid. Setiap hari mereka memproduksi video berisi guru yang sedang mengajarkan materi pembelajaran. Lalu mereka sebar dengan tagline ‘ready on Youtube’. Para guru ‘nyambi’ Youtuber. Mereka akan fasih mengucapkan ‘hai gaes!’. Keren rasanya. Untuk sementara. Apakah itu tidak menjadi masalah untuk para guru? Apakah materi itu juga bisa dipakai untuk tahun berikutnya? Cukup dengan membagikan link saja. Jika jawabannya iya, berarti sekolah tidak memerlukan lagi guru tersebut. Atau relasi guru dan sekolah selesai ketika video sudah diunggah ke kanal Youtube. Karena videonya bisa dipakai dari angkatan satu ke angkatan berikutnya. Maka para guru harus berani mengeluarkan sesuatu yang orisinal dan otentik yang bisa ditawarkan kepada sekolah sehingga hak kekayaan intelektual mereka terjaga. Video tersebar, hak tetap didapatkan. Sulit? Sejak kapan menjadi guru itu mudah?
Tetapi apakah masih ada cara untuk menjaga sekolah agar tidak roboh? Kalau tidak muridnya yang habis, gurunya yang habis. Apalagi ada wacana guru juga harus dites Swab? Bagaimana kalau ternyata jumlah yang terpapar cukup banyak? Baik dari kalangan guru negeri maupun swasta. Atau kita kembalikan saja sekolah kepada bahasa latin schola yang bermakna “waktu luang”. Kalau ada luang, pergilah belajar sesuai dengan kebutuhan. Kalau kebutuhan belajar bisa dipenuhi dari rumah seperti sekarang?[]